Kamis, 18 Maret 2010

Sunan Gunung Jati dan Islamisasi Jawa Barat; Perspektif Arkeologi


TATKALA membaca tema Seminar ini pada hari Rabu malam tanggal 18 April 2001, yaitu Reinterpretasi dan Redefinisi Sejarah Sunan Gunung Djati serta Reorientasi Pengembangan Pariwisata Sejarah Budaya Islam, secara spontan saya menyetujuinya. Mengapa begitu? Karena sejak menelaah isi naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (Cerita Awal-mula Negeri Cirebon) yang diterbitkan oleh Atja tahun 1972 dan diselenggarakan Seminar Sejarah Jawa Barat di Sumedang tahun 1974, hasrat dan upaya untuk menginterpretasikan kembali identitas tokoh Sunan Gunung Djati mulai timbul sehubungan dengan munculnya informasi baru tentang awal sejarah Cirebon yang berasal dari naskah tersebut di atas.

Naskah ini yang ditemukan kembali di daerah Indramayu dua tahun sebelumnya (1970) disusun oleh Pangeran Arya Carbon tahun 1720. Naskah ini bersumberkan Nagarakretabhumi yang naskah-naskahnya sudah ditemukan kembali, berupa naskah-naskah karya Pangeran Wangsakerta. Informasi baru dimaksud adalah mengenai identitas tokoh Sunan Gunung Djati dan Fatahillah.
Sebagaimana kiranya para peserta Seminar ini maklum bahwa dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah dan buku-buku sejarah Indonesia lainnya selalu dikemukakan bahwa tokoh Sunan Gunung Djati itu identik dengan tokoh Fatahillah. Kedua nama itu orangnya satu, yaitu yang berperan sebagai penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam pertama di Cirebon. Orang itu berasal dari Pasai, kemudian bermukim di Demak, selanjutnya memimpin armada Demak untuk menundukkan Banten (1526) dan Sunda Kalapa (1527), dan akhirnya memimpin upaya penyebaran agama Islam dan menegakkan kekuasaan Islam di Tatar Sunda dengan pusat kedudukannya di Cirebon. Tokoh ini termasuk salah seorang walisanga di Pulau Jawa. Dialah yang menurunkan sultan-sultan di Cirebon dan Banten. Informasi lain mengenai hal itu yang berasal dari tradisi Cirebon, seperti Babad Carbon dan Wawacan Sunan Gunung Djati, selalu tidak dapat diterima sebagai kebenaran sejarah, melainkan hanya dianggap sebagai cerita legenda atau mitologi semata.
Ternyata naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) mengungkapkan lain dan dengan cara lain tentang identitas Sunan Gunung Djati dan Fatahillah itu. Menurut naskah ini, dua nama itu adalah jelas merujuk kepada dua tokoh yang berbeda. Orangnya ada dua, yang satu bernama Sunan Gunung Djati atau sering disebut Susuhunan Djati dalam naskah ini dan yang lainnya bernama Fadhilah Khan (Fatahillah). Fadhilah Khan-lah yang berasal dari Pasai (Sumatera) dan pernah bermukim di Demak serta memimpin armada Demak untuk menyerang ke Banten dan Sunda Kalapa. Adapun Sunan Gunung Djati adalah keturunan raja-raja Sunda (dari garis ibu) dan penguasa atau ulama dari tanah Arab (dari garis ayah). Ia lahir, dibesarkan dan dididik di tanah Arab, kemudian datang ke Pulau Jawa, tanah leluhurnya dari garis ibu. Atas persetujuan para penyebar agama Islam di Pulau Jawa (wali) yang sudah ada, ia memimpin upaya penyebaran agama dan penegakan kekuasaan Islam di Pulau Jawa bagian barat (Tatar Sunda) dengan pusat kedudukannya di Cirebon. Karena itu, Susuhunan Djati adalah pendiri kerajaan Islam Cirebon dan juga pelopor berdirinya kerajaan Islam di Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin, puteranya sendiri.
Memang antara tokoh Sunan Gunung Djati dengan tokoh Fatahillah terjalin hubungan yang erat baik kekeluargaan, peranan, kedudukan, masa hidup, tempat kegiatan maupun tempat kuburan mereka. Sunan Gunung Djati adalah mertua Fatahillah, karena puteri Sunan Gunung Djati yang bernama Nyai Ratu Ayu ditikah oleh Fatahillah. Nyai Ratu Ayu waktu itu (1524) bermukim di Demak dan merupakan janda Pangeran Sabrang Lor, putera Sultan Demak, yang meninggal tahun 1521 dalam ekspedisi armada Demak ke Malaka. Di samping itu, Fatahillah pun menikahi Nyai Ratu Pembayun, puteri Sultan Demak Raden Fatah, yang telah menjanda karena ditinggal wafat oleh suaminya, Pangeran Jayakelana, putera Sunan Gunung Djati yang lain.
Keduanya memainkan peranan penting dalam upaya penyebaran agama dan penegakan kekuasaan Islam di Banten dan (Sunda) Kalapa. Keduanya pernah memegang pemerintahan di Cirebon, yaitu Susuhunan Djati memerintah tahun 1479-1568, tetapi sejak tahun 1528 sampai 1552 pelaksanaan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Pangeran Pasarean (puteranya) dan sejak 1552 sampai 1568 pelaksanaan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Fatahillah (menantunya), karena Sunan Gunung Djati memusatkan perhatian dan kegiatannya pada upaya penyebaran agama Islam di pedalaman Tatar Sunda. Patut dicatat bahwa Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1552, sangat mungkin di Demak, karena ikut terlibat dalam kemelut di keraton Demak dan Sunan Gunung Djati wafat di Cirebon tahun 1568. Fatahillah memerintah di Cirebon secara penuh (tidak mewakili mertuanya lagi) pada tahun 1568 sampai tahun 1570. Pada tahun 1570 Fatahillah wafat di Cirebon. Keduanya dimakamkan di komplek Astana Gunung Djati di puncak Gunung Sembung (letak makam keduanya bersebelahan).
Menurut naskah ini, Sunan Gunung Djati lahir dengan nama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448, tiba di Cirebon tahun 1470 (dalam usia 22 tahun), menjadi kepala daerah (tumenggung) di Cirebon di bawah kuasa Kerajaan Sunda tahun 1479, tidak lama kemudian atas persetujuan para wali di Pulau Jawa menjadi pemimpin agama (panatagama) dan kepala pemerintahan Islam (rajapendeta) di Tatar Sunda yang berdiri sendiri dengan kedudukan pusatnya di Cirebon, tahun 1528 mewakilkan kekuasaan pemerintahannya kepada Pangeran Pasarean, tahun 1552 mewakilkan kekuasaan pemerintahannya kepada Fatahillah, dan tahun 1568 wafat dalam usia 120 tahun.
Adapun Fatahillah lahir di Pasai dengan nama lengkap Maulana Fadhilah Khan al-Pasey ibnu Maulana Makhdar Ibrahim al-Gujarat tahun 1490 (lebih muda 42 tahun dari Sunan Gunung Djati), tahun 1524 sudah bermukim di Demak, tahun 1526 memimpin ekspedisi armada Demak ke Banten dan (Sunda) Kalapa, tahun 1527 menjadi kepala daerah (Sunda) Kalapa yang kemudian diganti namanya menjadi Jayakarta, 1546 memimpin armada Demak ke Pasuruan (Jawa Timur ) yang gagal, tahun 1548 sudah berada kembali di Kalapa dan disebut Ratu Kalapa (Jayakarta), tahun 1552 diangkat wakil Sunan Gunung Djati dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari di Cirebon, tahun 1568 menjadi penguasa penuh di Cirebon, dan tahun 1570 wafat dalam usia 80 tahun. Penguasa Cirebon selanjutnya adalah Panembahan Ratu (1570-1649), cicit Sunan Gunung Djati dari garis ayah dan cucu Fatahillah dari garis ibu (Lihat: Atja, 1972; 1986; Ekadjati, 1975).
Sesungguhnya pengidentikan Sunan Gunung Djati dengan Fatahillah berasal dari kesimpulan Hoesein Djajadiningrat (1913) dalam disertasinya yang membahas isi naskah (tinjauan kritis) Sajarah Banten (SB). Berdasarkan perbandingan riwayat hidup dan peranan kedua nama itu, yaitu Sunan Gunung Djati menurut tradisi Banten dan Cirebon, Faletehan dan Tagaril menurut berita Portugis, yang ternyata menunjukkan persamaan, “kemudian kami harus mengambil kesimpulan bahwa Faletehan, Tagaril, Sunan Gunung Djati adalah nama yang berbeda-beda dari seseorang dan orangnya itu-itu juga (Hoesein Djajadiningrat, 1913: 87; 1983: 95). Saya sangat menghargai dan mengagumi Hoesein Djajadiningrat dalam ketelitian, keuletan, dan kerasionalan cara kerja dan analisisnya mengenai berbagai hal yang dasarnya diungkap dari SB, kemudian diperkuat oleh sumber yang berasal dari orang Eropa (pencatat dan penafsir data/fakta). Lebih-lebih apabila diingat bahwa pada waktu itu (1913) beliau masih berusia belia (baru 27 tahun), sumber informasi belum banyak diterbitkan, dan tradisi keilmuan di kalangan bangsa kita belum mengemuka. Beliau adalah orang Indonesia pertama yang mendapat gelar Doktor, mendapatnya pada usia 27 tahun, memperolehnya dari universitas terkemuka dan tua di Belanda (Rijksuniversiteit Leiden yang didirikan tahun 1575), disertasinya ditulis dalam bahasa Belanda ilmiah yang baik, dan prestasi akademik cum laude.
Walaupun begitu, yang bertalian dengan kesimpulan identitas Sunan Gunung Djati dan Fatahillah, kiranya masih bisa didiskusikan dari disertasi beliau itu, karena di dalamnya masih mengandung kekurangan sumber yang digunakan dan kelemahan kecenderungan sikap. Dalam mengungkap identitas Sunan Gunung Djati, di sini digunakan sumber utama dari SB atau disebut pula tradisi Banten – suatu hal yang bisa dipahami, karena disertasi ini sedang membahas SB – namun ternyata kurang menggunakan sumber secara mendalam dan menyeluruh dari Babad Cirebon edisi Brandes dan Wawacan Sunan Gunung Djati atau tradisi Cirebon umumnya.
Dalam hal ini, Hoesein Djajadiningrat menggunakan bagian cerita dari SB (pupuh XIII) yang menuturkan “tentang seseorang Pase, yang ingin mempunyai seorang anak. Sekali ia bermimpi bahwa untuk itu harus menyelam ke dalam laut. Ini dilakukannya, dan ditemukannya sebuah peti menemukan sebuah peti, dan di dalam peti tersebut ada seorang anak. Dibesarkannya anak itu dan disekolahkannya pada Molana AhlulIslam. Kecerdasan anak itu menonjol di atas anak-anak sesama murid, dan ketika ia sudah cukup berguru itu, atas nasihat gurunya ia pergi ke Jawa. Di Carebon, pada sungai Sapu, ia menetap, dan di sanalah ia menjadi guru. Setiap orang datang kepadanya, sampai-sampai pemilik tanah itu sendiri. Pemilik tanah itu karena rasa terima kasih, memberikan daerahnya kepada gurunya yang menerima pemberian itu. Dengan demikian maka guru agama itu menjadi raja Carebon dengan nama Makdum. Ia mendapat dua orang anak laki-laki, yang tua diangkatnya menjadi raja Carebon, dan yang muda ditempatkan di Banten.” (Hoesein Djajadiningrat, 1913: 1983: 29, 92-93).
Walaupun diakui bahwa bagian terbesar dari cerita tersebut bersifat legendaris, namun beliau membenarkan (nyatalah) bahwa yang dimaksud dengan seorang Pase (Pasai) tersebut adalah Sunan Gunung Djati. Lebih-lebih setelah dikaitkan dengan bagian cerita lain sesudahnya (pupuh XVI dan XVII) yang menuturkan “seorang keramat , yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail. Dari Mandarsah ia datang di Jawa, yaitu Pakungwati, untuk mengIslamkan daerah ini. Ia mempunyai dua orang anak; seorang perempuan (yang tua), dan seorang laki-laki bernama Molana Hasanuddin. Dengan anaknya yang laki-laki ia berangkat ke arah barat, tiba di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari” (Hoesein Djajadiningrat, 1913; 1983: 32-33, 93).
Selanjutnya, orang keramat itu disebut namanya Susuhunan Gunung Djati. Yang menarik adalah ketika Sandisastra (pewawancara) bertanya lebih jauh tentang Susuhunan Gunung Djati, Sandimaya (pencerita) menjawab, bahwa ia tak seharusnya menanyakan hal itu, karena tidak ada dalam sumbernya (Hoesein Djajadiningrat, 1913; 1983: 34). Kutipan yang panjang lebar dari disertasi ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa sumber utama yang digunakan untuk mengidentifikasi Sunan Gunung Djati itu tidak kurang banyak pertanyaannya dari segi kerasionalannya, seperti juga dalam Babad Carbon dan tradisi Cirebon lainnya.
Hoesein Djajadiningrat menggunakan pula catatan Portugis sebagai sumber utama dalam mengidentifikasi kedua nama tokoh itu, yaitu yang berasal dari Barros, Barbarosa, Pinto, dan juga Pigafetta; tetapi tidak menggunakan sumber dari catatan Tome Pires. Dari tiga berita Portugis disebut pertama diketahui adanya tokoh yang berasal dari Pasai bernama Faletehan yang memimpin pasukan Japara (baca: Demak) untuk menaklukkan Banten dan Sunda (Kalapa) serta Tagaril sebagai raja (kepala daerah) Sunda (Kalapa) yang memimpin pasukan Demak atas permintaan iparnya yang menjadi Sultan Demak untuk menaklukkan Pasuruan. Berdasarkan tiga berita itu, disimpulkan bahwa Faletehan adalah Tagaril juga. Dalam pada itu, berdasarkan peta Pulau Jawa yang dibuat oleh Pigafetta tahun 1522 yang mencantumkan beberapa kota besar di Pulau Jawa dan tidak ditemukan kota Cirebon serta catatan Pinto lainnya yang menyatakan bahwa Cirebon adalah sebuah kampung (1546), Hoesein Djajadiningrat cenderung berpendapat bahwa pada kira-kira pertengahan abad ke-16 Cirebon masih merupakan sebuah tempat yang tidak penting dan barangkali tak mungkin merupakan sebuah tempat kedudukan raja (Hoesein Djajadiningrat, 1913; 1983: 103-105).
Tetapi kini anggapan bahwa pada kira-kira pertengahan abad ke-16 Cirebon bukan merupakan tempat penting telah terbantah oleh berita dari Tome Pires, seorang Portugis yang justru pada tahun 1513 mengunjungi sendiri kota pelabuhan Cirebon. Dikatakan olehnya bahwa pada waktu itu Cirebon bukan merupakan bagian dari Kerajaan Sunda, karena batas Kerajaan Sunda disebutkannya Cimanuk (Indramayu sekarang). Cirebon merupakan kota pelabuhan penting yang penguasanya telah beragama Islam dan mempunyai hubungan dengan Demak serta dihuni oleh sejumlah sodagar yang pindah dari Malaka. Memang pada waktu Hoesein Djajadiningrat menyusun disertasi (1913), catatan Tome Pires belum terungkap. Sumber ini baru diterbitkan di London (Inggris) atas usaha Armando Cortesao pada tahun 1944.
Berdasarkan pembahasan di atas, kiranya sekali lagi kesimpulan Hoesein Djajadiningrat yang kemudian dianut oleh para penulis buku sejarah Indonesia berikutnya masih dapat dan perlu dikaji ulang lagi yang bertalian dengan identifikasi tokoh Sunan Gunung Djati dan Fatahillah!
Sejarah Sunan Gunung Djati dari Perspektif Arkeologi
SECARA jujur saya akui bahwa saya awam dalam dunia arkeologi, karena tidak dibesarkan dalam disiplin ilmu tersebut. Hanya kiranya tidaklah akan salah, jika saya mengatakan bahwa kajian Arkeologi dapat membantu mengungkap dan memperkaya sejarah Sunan Gunung Djati, umumnya sejarah Cirebon periode awal. Karena bukankah daerah Cirebon, baik daerah pesisir maupun daerah pedalamannya (Cirebon Girang) telah panjang perjalanan sejarahnya, bahkan mungkin termasuk perjalanan prasejarahnya? Banyak orang berkiprah, banyak peristiwa terjadi, banyak peralatan hidup digunakan selama daerah ini dihuni sejumlah kelompok manusia. Jika sejarah Banten telah berhasil banyak yang diungkapkan berkat penggalian arkeologis yang dilakukan di situs pemukiman masyarakatnya, kiranya sejarah Cirebon pun akan demikian pula melalui cara yang sama, walaupun keragaman dan kuantitas temuannya (material) bisa jadi lebih sedikit dari temuan di Banten, mengingat kedudukan Cirebon cenderung sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan Banten sebagai pusat kegiatan perniagaan.
Dalam kaitan ini patut menjadi perhatian para arkeolog tentang informasi dari naskah-naskah karya Pangeran Wangsakerta bahwa di daerah Cirebon sesungguhnya telah ada sebuah kerajaan bercorak Hindu sejak abad ke-4 Masehi. Kerajaan ini dinamai Indraprahasta yang didirikan oleh seorang maharesi yang datang dari daerah Gangga, India, bernama Maharesi Santanu. Lokasi kerajaan ini berada di Cirebon Selatan, dulu disebut Cirebon Girang, pinggir sebuah sungai di kaki timurlaut Gunung Ciremai. Dalam perkembangannya kerajaan ini menjadi sekutu Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan ini dihancur-luluhkan oleh pasukan Sanjaya dari Galuh dan digantikan oleh Kerajaan Wanagiri dan ditempatkan di bawah kuasa Kerajaan Galuh. Pada abad ke-15 diketahui nama kerajaannya (kecil) Cirebon Girang.
Pada masa yang sezaman dengan keberadaan Cirebon Girang, diungkapkan pula adanya sejumlah kerajaan kecil (daerah otonom) di wilayah Cirebon sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan pusat kegiatan perdagangan. Kerajaan-kerajaan kecil dimaksud yang berada di bawah kuasa Kerajaan Galuh adalah Sindangkasih (ada yang menafsirkan lokasinya di daerah Beber sekarang), pelabuhan Muhara Djati (dekat kompleks Astana Gunung Djati sekarang), pelabuhan Singapura (ada yang menafsirkan menjadi Singamerta sekarang), pelabuhan Japura di sebelah timur Muhara Djati. Baru sesudah itu (pertengahan abad ke-15) muncul kota pelabuhan Cirebon yang terletak antara Muhara Djati dan Japura yang kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan penyebaran agama dan kekuasaan Islam di Tatar Sunda, terutama Tatar Sunda bagian timur yang tapal batasnya Sungai Citarum (daerah Karawang). Di kota pelabuhan Cirebon berdiri pusat pemerintahan yang tata kotanya disusun berdasarkan sistem tertentu. Sistem tata kota dimaksud adalah alun-alun sebagai pusat kota, di sebelah selatan alun-alun terdapat keraton yang menjadi tempat kediaman raja dan pusat kegiatan pemerintahan, di sebelah barat alun-alun terdapat mesjid yang menjadi tempat kegiatan keagamaan, di sebelah utara alun-alun terdapat pasar. Pola tata kota ini kemudian diikuti oleh ibukota Kesultanan Mataram dan kota-kota kabupaten, bahkan desa-desa di wilayah Cirebon.
Menurut hemat saya, jika di bekas lokasi pusat pemerintahan dan perniagaan tersebut di atas dilakukan penelitian arkeologi, termasuk kegiatan penggalian situs, akan memberi sumbangan bermakna terhadap upaya reinterpretasi dan redefinisi Sejarah Sunan Gunung Djati, sejarah awal Cirebon umumnya.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar